Di sebuah group WA yang mayoritas penghuninya orang Minang di perantauan, saya membaca postingan seseorang mengirimkan dua foto yang menggambarkan negara Jepang. Yang satu Jepang tahun 1945 pasca hancur karena bom, dan yang satu lagi masih di lokasi yang sama tahun 2021. Lalu, si penulis pesan menulis yang intinya tirulah Jepang, buanglah mental ‘tahimpik handak di ateh, takuruang handak di lua’ yang membuat orang Minang pemalas.
Saya pikir pemahaman seperti itu bentuk pandangan yang keliru terhadap pepatah ‘tahimpik handak di ateh, takuruang handak di lua’. Artinya, ketika terhimpit kita ingin di atas, ketika terkurung kita ingin keluar. Selama ini, pepatah ini sering dimaknai sebagai ‘kelicikan’ orang Minang atau sering disebut ‘galia’ sebab kalau dihimpit ingin di atas, dan jika dikurung ingin di luar.
Jika pepatah ini digali terdapat makna hakiki yang tersimpan dalam pepatah ini. Pepatah ini mengandung pesan yang paling humanis.Pesan itu mengandung makna bahwa setiap makhluk memiliki energi untuk mempertahankan hidup dari himpitan atau tekanan. Allah Ta’ala membekali manusia dengan sarana untuk mempertahankan hidup: pendengaran, penglihatan, dan hati (QS.23:78).
Archimedes membuat riset dengan kesimpulan bahwa setiap benda yang mendapat tekanan akan mengeluarkan energi sebesar tekanan yang diterima benda itu.Hal yang sama juga dibuktikan oleh Newton dengan teori Aksi=(negatif) Reaksi.
Tak ada seorang pun manusia di dunia ini ‘rela’ dihimpit dan dikurung? Jangankan manusia, semut akan melawan jika terinjak. Dalam hubungan sesama manusia hal yang sama juga terjadi. Bagi orang yang memiliki kelebihan dari orang lain, jangan pernah menggunakan kelebihan itu untuk menekan atau menghimpit dan mengurung, karena kelebihan itu akan menjadi bumerang nantinya. Dalam hukum ini, fungsi tekanan adalah menghasilkan kekuatan internal.Semakin besar tekanan, akan semakin besar pula power endogen (istilah untuk tenaga dari dalam bumi yang menyebabkan perubahan kulit bumi) dan berakibat semakin dahsyat ‘ledakan’ yang ditimbulkannya.
Dalam sejarah bangsa kita, kaidah ‘tahimpik handak di ateh, takuruang handak di lua’ terbukti dengan berakhirnya pentas orde baru. Orde Baru awalnya aman-aman saja. Namun, ciri khas orde baru adalah mengendalikan rakyat dengan ‘tekanan’. Lama kelamaan energi internal berubah menjadi kekuatan masal yang tak terkendali. Akhirnya orde baru tumbang juga.
Begitu arifnya nenek moyang orang Minangkabau yang meninggalkan pituah untuk anak cucunya. Sayangnya, anak cucunya banyak yang keliru memahaminya. Padahal kita diingatkan jangan pernah menindas, mengurung apa pun, apalagi sesama manusia.
Tak ada satu pun ajaran, pepatah petitih, atau filosofi dalam alam pikir budaya suatu bangsa yang sengaja untuk menjelekkan diri sendiri. Namun, ungkapan ini akan jadi ajaran licik di tangan orang yang berpandangan licik.Namun, ia akan menjadi ajaran yang arif di tangan orang yang berpandangan arif. Dan kemajuan Jepang pun turut membuktikan kearifan dalam pituah “tahimpik handak di ateh, takuruang handak di lua’. Jepang yang mendapat ‘himpitan dan kurungan’ karena dibom akhirnya ‘meledak’ menjadi negara maju.(Irwandi)