Oleh: Bakhtiar (Ketua PWM Sumbar)
IDUL ADHA sudah berlalu beberapa hari. Hari tasyriq sebagai hari diharamkannya berpuasa pun telah lewat. Jamaah haji yang sedang berada di Makkah sudah bersiap-siap pula untuk kembali ke tanah air. Keluarga yang ditinggalkan harap-harap cemas beriringan dengan peristiwa kelaparan dan kehausan yang terjadi perjalanan panjang jamaah haji tahun ini.
Informasi dari pemerintah dan petugas haji telah mengabarkan keadaan yang sebenarnya. Ada sebagian yang memang meninggal dunia sebagai ketentuan dari Allah yang mesti diterima pihak keluarga. Bagi jamaah haji yang meninggal, tentu menjadi jalan jihad dalam perjalanan panjangnya. Sementara bagi jamaah yang kembali ke tanah air diharapkan membawa haji yang mabrur yang mampu membawa manfaat dan dampak besar bagi perubahan kehidupan bangsa dan negara ke depan lebih baik.
Seiring dengan sudah berlalunya ibadah kurban dimaksud sebagaimana perintah QS. al-Kautsar ayat 1-3 bukan berarti peristiwa tersebut selesai sudah tanpa meninggalkan bekas. Bagi setiap muslim yang menjalankan ibadah kurban secara langsung maupun dengan melibatkan diri dalam prosesi tersebut berupa panitia dan mengkonsumsi akan menghantarkan pada nilai-nilai yang sarat dengan makna. Salah satu di antara prosesi itu terkait erat dengan penyembelihan.
Dalam banyak hadits Nabi SAW dituntunkan agar hewan yang akan disembelih harus memenuhi persyaratan tertentu, kemudian diperlakukan secara baik. Penyembelihan hewan dengan cara penyiksaan harus pula dihindari. Oleh karenanya tempat penyembelihan mesti terjauh dari hewan lain yang akan disembelih pula. Sebab, akan dapat hewan lain itu melihat dan membauni darah yang menyebabkan dan mengalami stres.
Selain itu, alat penyembelih berupa pisau mesti kuat dan tajam. Kaki hewan yang akan disembelih harus terikat dengan baik. Seiring dengan itu, pihak yang menyembelihpun tidak dapat sembarangan orang. Selain memiliki keterampilan menyembelih, harus pula mengetahui seluk beluk dan tuntunan penyembelihan sesuai dengan ketentuan syara’. Apabila hal demikian tidak diperhatikan akan menyebabkan proses penyembelihan hewan akan menjadi rusak (fasad).
Dalam hal itu, syara’ sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi saw diriwayatkan Muslim dari Syaddad Ibn Aus menyatakan bahwa “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan supaya selalu bersikap baik terhadap setiap sesuatu, jika kamu membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik, jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, tajamkan pisaumu dan senangkanlah hewan sembelihanmu.” Hadis ini menjadi landasan yang kuat bagi ulama untuk menjadikan pisau yang tajam sebagai syarat dalam penyembelihan.
Dalam kaitannya dengan itu, di tahun ini Penulis kembali menjadi salah seorang yang diminta masyarakat melalui kepanitiaan melakukan penyembelihan hewan kurban dimaksud. Pada mulanya mengelak untuk menerima amanah tersebut disebabkan ada agenda lain yang mesti diselesaikan walaupun pada akhirnya tetap menerima permintaan dimaksud. Pada tahun-tahun sebelumnya melakukan penyembelihan yang sama pada beberapa tempat dengan hari yang berbeda. Pengalaman penyembelihan ini sudah dilakukan sejak mahasiswa dulu, tepatnya di saat masih tinggal di mesjid.
Tahun ini, ada pengalaman tersendiri yang belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Sapi yang disembelih tidaklah begitu besar, tetapi sedikit agak keras dibandingkan dengan sapi lainnya. Tanduknya panjang dan runcing. Saat akan dilakukan penyembelihan, beberapa orang yang membantu sudah memegang kuat kaki dan kepalanya yang sudah terikat, kemudian pisau melekat dilehernya.
Kaki sebelah kanan penulis pun sudah berada dileher sapi agar kuda-kuda penyembelihan lebih kuat. Di saat pisau sudah ditekan dan melukai sebagian leher sapi, kemudian darah sudah mulai mengalir, tiba-tiba pisau kehilangan ketajamannya. Lebih dari itu, pisau tadi terasa lemas sepertinya sembilu sehingga tidak berdaya untuk diteruskan. Akan tetapi, proses penyembelihan tetap dilakukan dengan menggunakan pisau dimaksud. Yang pada akhirnya, betul-betul tidak kuat, dan menyebabkan kaki penyembelih yang sudah terkena darah sapi terpeleset.
Padahal, pisau tersebut sebelumnya sudah diasah oleh tukang “bantai” yang biasa melakukan penyembelihan untuk kepentingan umum. Untungnya, ada pisau pengganti dari tukang “bantai” yang berdiri di sebelah. Namun, pisau pengganti itu seakan juga tidak berdaya memutus saluran darah yang ada di leher sapi yang satu itu. Pada hal satu sapi sebelumnya lancar dan aman.
Peristiwa semacam ini sangat mengesankan disebabkan belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Hampir setiap tahunnya penyembelihan berjalan dengan aman dan lancar walaupun masing-masing sapi yang disembelih memiliki karakteristik berbeda satu sama lain. Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu ada sebagian sapi ketika dilakukan pengikatan melakukan perlawanan.
Terlepas dari pengalaman yang dialami di atas, penyembelihan hewan kurban ini tentu sarat dengan makna untuk dapat dijadikan sebagai proses perbaikan dan penataan kehidupan individu dan kolektif. Apalagi ibadah kurban yang disyariatkan pada umat Islam sangat erat kaitannya dengan peristiwa heroik yang terjadi pada seorang Nabiullah Ibrahim as dengan keluarganya. Pertaruhannya sangat luar biasa, dan berdampak besar bagi peradaban dunia.
Kepatuhan terhadap Regulasi
Ketajaman pisau penyembelihan kurban dapat pula dimaknai dalam bentuk kepatuhan terhadap regulasi. Regulasi dimaksud sehubungan dengan pengaturan hewan kurban itu sendiri maupun persyaratan lain. Pengaturan demikian umumnya tidak tertulis. Jumlah hewan kurban misalnya, Sapi hanya dapat digunakan untuk tujuh orang. Tidak lebih dan tidak pula berkurang. Jika terjadi kekurangan, panitia biasanya mencarikan jalan untuk dapat terpenuhi. Hewan yang akan dikorbankan tidak boleh cacat baik pisik maupun jiwanya. Umur hewan demikian pula.
Bagi pihak yang berkurban dengan hanya menyerahkan dananya kepada panitia diserahkan dalam jumlah yang cukup, kemudian dilunasi sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Hampir semuanya tunduk pada kesepakatan dan aturan yang diberlakukan meskipun tidak secara tertulis. Panitia dalam pelaksanaannya begitu pula diupayakan sesuai dengan tuntunan syara’. Hal yang sama juga berlaku bagi pihak yang dipercaya dalam penyembelihannya mesti mengacu pada pengaturan yang ada dalam syara’.
Dalam pembagian dan distribusi daging juga begitu. Panitia sangat hati-hati dalam membaginya. Oleh karena semuanya ingin melakukan prosesi kurban sesuai dengan tuntunan yang sudah ditetapkan agama. Pihak panitia kalaupun membawa daging pulang ke rumah hanya sekedar yang sudah ditetapkan pengurus, dan umumnya dalam batas kewajaran. Di dalamnya tidak ada jatah-jatahan dan porsi tertentu, tetapi dibagi sesuai dengan kepatutan dan bahkan sama dengan warga lainnya.
Hal itu, dapat terlaksana dengan baik disebabkan semua yang terlibat di dalamnya merasa penting memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam kurban itu sendiri. Masing-masing tidak mengharapkan daging kurban, kecuali hanya mengharap keridhaan Allah, ditambah dengan rasa kebersamaan antara sesama. Begitu pula pihak yang berkurban tidak meminta macam-macam atau melebihkan dari yang sudah ditentukan kepanitiaan.
Saling Memberi Kepercayaan
Pemaknaan ini dapat dicermati dari proses penghimpunan hewan kurban yang dilakukan kepanitiaan. Biasanya kepanitiaan berusaha keras mencari calon pihak yang akan berkurban. Polanya ada yang disetorkan dalam jumlah tertentu sekaligus satu bulan menjelang hari raya idul adha. Ada pula pihak yang berkurban dengan menyerahkan secara langsung hewan kurban dimaksud. Lebih dari itu, kepanitiaan menghimpun dengan cara menabung kurban jauh hari sebelum hari raya idul adha dalam proses demikian.
Dalam hal, penghimpunan jumlah kurban terutama yang menggunakan pola berkelompok lazimnya jumlah dananya ditentukan oleh kepanitiaan dengan mempertimbangkan kenaikan harga untuk tahun berikutnya. Pihak yang berkurban tidak menyoalkan harga, tempat dan kondisi hewan dibeli. Semuanya diserahkan sepenuhnya pada panitia. Begitu pula ketika penyembelihan akan dilangsungkan pihak yang berkurban tidak mempersoalkan siapa yang akan menyembelihnya. Lagi-lagi sepenuhnya diserahkan pada panitia untuk menunjuk dan mempercayakan kepada siapapun.
Begitu pula pihak kepanitiaan. Saat dipercaya oleh masyarakat untuk mengumpulkan uang dan membeli hewan kurban biasanya lebih bersikap hati-hati. Sebab, dana yang dikumpulkannya secara teologis bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada masyarakat melainkan juga pada Allah. Oleh sebab itu, jarang didengar dan ditemukan ada panitia yang menyimpangkan dana atau mengambil secara tidak halal uang kurban tersebut. Kalaupun ada yang berkurang ataupun berlebih, diberitahu kembali pada pihak yang berkurban.
Dalam penyembelihan pihak kepanitaan tidak melakukannya sendiri melainkan menyerahkan pada orang yang oleh masyarakat sekitar dipercaya memiliki persyaratan yang dikehendaki oleh syara’. Kalaupun di mesjid-mesjid tertentu ada juga yang disembelih oleh anggota pengurus sendiri, tetapi setelah melalui proses dan pertimbangan yang secara kesyariahannya telah memenuhi persyaratan. Dalam hal itu, pihak yang berkurban dan panitia sepenuhnya menyerahkan kepada orang yang dianggap layak dan patut secara syara’ melakukan penyembelihan.
Tata kelola kurban ini telah memberikan makna yang sangat berarti dalam penyadaran terhadap penataan kehidupan kolektif dalam masyarakat. Satu sama lain saling memberi dan memelihara kepercayaan sehingga tidak ada terminologi pengkhianatan di dalamnya. Jika saja, prosesi kurban ini dapat dimaknai bagi setiap orang tentunya kehidupan ini akan tertata dengan sendirinya secara baik dan benar. Satu sama lain saling memberi penghargaan, empati dan menghormati serta penempatan fungsi dan wewenang secara proporsional.
Semuanya berjalan dengan ketulusan dan keikhlasan. Bila saja makna kepatuhan dan saling mempercayai ini dapat direalisasikan dalam masyarakat secara kolektif dapat dipastikan pencurian, praktik korupsi dan penyimpangan akan terjauh dari negeri ini. Sebab, semuanya sudah mengikuti ketentuan dan aturan. Mudah-mudahan dapat diwujudkan dalam bingkai kolektifitas. (***)