Oleh: Muhammad Izzul Muslimin (Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
ALLAH telah memerintahkan Nabi Muhammad untuk berkurban sebagaimana dinyatakan dalam QS Al Kautsar ayat 2.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَا نْحَرْ
“Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.”
Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk melaksanakan shalat dan berkurban. Tentu sebagai umat yang menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai panutan maka sudah sewajarnya jika kita juga menjadikan shalat dan berkurban sebagai sebuah kewajiban.
Nabi Muhammad SAW dalam hadits juga telah mengingatkan umatnya tentang perintah berkurban. Berikut haditsnya,
عَنْ َأبِي هُرَيْرَة: َأنَّ رَسُوْل اللهِ صلى الله عليه وسلم قال : مَنْ كَانَ لهُ سَعَة وَلمْ يَضَحْ فَلا يَقْربَنَّ مُصَلَّانَا (رواه احمد وابن ماجه)
Artinya: “Dari Abu Hurairah, “Rasulullah SAW telah bersabda, barangsiapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat shalat kami,” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Hadits ini menjelaskan bahwa kewajiban berkurban berlaku bagi mereka yang dianggap mampu. Pertanyaannya, apa ukuran seseorang dianggap mampu sehingga terkena kewajiban berkurban?
Seringkali kita menggunakan ukuran kemampuan berkurban seseorang dengan sebuah asumsi bahwa apabila saat mendekati pelaksanaan ibadah kurban orang tersebut memiliki kelebihan uang sehingga mampu membeli minimal seekor kambing atau domba yang memenuhi syarat untuk dijadikan hewan kurban.
Asumsi demikian sesungguhnya memiliki kelemahan. Coba kita bandingkan dengan ibadah haji yang juga mensyaratkan kemampuan secara finansial. Karena kewajiban haji itu sekali seumur hidup maka mereka yang ingin berhaji berusaha melaksanakannya dengan cara mengumpulkan uang sedikit demi sedikit hingga akhirnya mencukupi untuk ongkos pergi berhaji. Di sini tidak berlaku asumsi bahwa orang yang ingin menjalankan ibadah haji adalah orang yang tanpa perencanaan tiba-tiba ada kelebihan uang sehingga bisa berangkat haji.
Oleh karena itu orang yang dikatakan mampu berhaji adalah orang yang secara sengaja menyiapkan diri dengan merencanakan bahkan dalam waktu cukup lama untuk bisa berangkat haji.
Hal yang sama mestinya juga berlaku bagi mereka yang berkurban. Orang yang dikatakan mampu berkurban adalah mereka yang secara sengaja menyiapkan diri dengan merencanakan dalam waktu tertentu untuk bisa membeli hewan kurban. Karena berkurban itu dilaksanakan setahun sekali maka mestinya perencanaan berkurban juga dilakukan selama setahun.
Sebagai gambaran, jika harga seekor kambing saat ini Rp 3.000.000,-, maka dibutuhkan kemampuan untuk menabung selama 10 bulan dengan menyisihkan uang perbulan sebesar Rp. 300.000,-. Atau perharinya harus menyisihkan uang minimal Rp.10.000,-
Menyisihkan uang Rp. 300.000,- perbulan atau Rp. 10.000,- perhari tentu bukan sesuatu yang mustahil bagi mereka yang punya penghasilan 3 juta rupiah perbulan atau yang berpendapatan 100 ribu rupiah perhari. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika kita punya pendapatan minimal 3 juta perbulan atau 100 ribu perhari maka sejak awal berniat untuk berkurban pada Idul Adha yang akan datang. Tentu dengan disertai doa semoga Allah akan memampukan kita sehingga niat berkurban itu benar-benar akan terwujud.
Tentu kita tidak ingin oleh Rasulullah Muhammad SAW tidak dimasukkan dalam golongan umatnya dan tidak bisa mendekati telaga Al Kautsar di hari Akhir nanti karena kita termasuk orang yang tidak mau berkurban padahal sesungguhnya kita termasuk orang yang mampu dalam pandangan Allah dan RasulNya. Wallahu a’lam. (***)