Oleh: Muhammad Agung Budiarto
HUJJATUL Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah menjelaskan bahwa agama ini terdiri dari 2 bahagian. Pertama melakukan ketaatan dan kedua meninggalkan kemaksiatan.
Dua hal ini juga merupakan inti daripada ketakwaan kita kepada Allah. Demikian penjelasan Imam Abdul Qadir Al-Fakihy dalam Al-Kifayah. Orang yang melakukan ketaatan bukan hanya ia yang melakukan amal sholeh semata. Pemahaman ini perlu kembali disampaikan kepada masyarakat, agar faham tentang hakikat ketakwaan yang sesungguhnya. Bahkan Imam Al-Ghazali berani mengatakan bahwa meninggalkan kemaksiatan itu jauh lebih berat dibanding melakukan ketaatan.
Apa maksud Imam Al-Ghazali sehingga berani menfatwakan hal yang demikian. Bukankah menjaga sholat lima waktu, bersedekah, menuntut ilmu, umroh dan haji termasuk amalan yang berat?
Mari kita balik bertanya. Bukankah orang munafik itu juga sholat lima waktu? Bahkan orang munafik di zaman nabi selalu sholat dibelakang Rosulullah SAW. Bukankah orang kaya yang lalim juga gemar bersedekah ?
Bukankah para koruptor uang rakyat juga melaksanakan haji dan umroh ? bahkan boleh jadi bisa berkali-kali. Bukankah para orientalis juga menuntut ilmu ? bahkan kajian-kajian mereka lebih marak dilakukan hanya untuk upaya-upaya diabolisasi Islam.
Imam Al-Ghazali mengatakan “Ath-Tho’atu yaqdiru ‘alaiha kulli ahadin-, melakukan ketaatan hampir setiap orang bisa melakukannya. Yang benar-benar taat, yang fasik, yang munafik, semua bisa melakukan.
-wa tarku Asy-Syahawat la yaqdiru ‘alaihi illa ash-shodiqun-, sedangkan yang bisa serius meninggalkan kemaksiatan adalah mereka para Siddiqun.
Dalam beberapa waktu lalu beredar di media masa seorang guru ngaji mencabuli santrinya sendiri. Di sisi lain dia tetap menjaga sholatnya, dan juga kewajibannya sebagai seorang guru. Namun ia tidak bisa melawan syahwatnya saat berjumpa dengan perempuan. Dalam kisah Bani Israel yang diceritakan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, seseorang yang banyak beramal sholeh namun mati su’ul khotimah karena kemaksiatan yang telah membelengguh diujung kematiannya.
Seoranh muazdin yang diceritakan oleh Imam Syamsuddin Al-Qurtubi dalam At-Tadzkirah, wafat dalam keadaan kafir gara-gara tidak bisa lepas dari fitnah perempun. Padahal ia adalah seorang muadzin, di mana muadzin itu selalu datang pertama kali di masjid, dan senantiasa sholat di shaf pertama. Namun ketika di uji dengan syahwatnya, ia khilaf tak mampu membendungnya.
Oleh karena itu, marilah kita sama-sama bermujahadah agar termasuk golongan siddiqun. Siddiqun adalah mereka yang bisa menekan hawa nafsunya disaat nafsunya telah menguasainya. Tentunya untuk sampai derajat Siddiqun harus dimulai dengan bermujahadah, jihad An-Nafs dan Riyadhoh An-Nafsi. Sebagaimana kesehatan raga didapat dengan berolahraga, maka kesehatan juga juga diperoleh dari olah jiwa (riyadhoh An-Nafsi).
Saat dalam satu keadaan kita tidak bisa memperbanyak amal sholih, cukuplah kita untuk tidak melakukan kemaksiatan. Karena meninggalkan kemaksiatan sejatinya juga bagian dari ketakwaan. (Penulis merupakan Ketua Majelis Tarjih PDM Pasaman Barat dan Mudir Ponpes Islamic Centre Muhammadiyah Kinali).