Melihat keadaan yang demikian Ahmad Dahlan dan teman-teman menggerakkan sumber daya yang ada hingga lahirlah panti-panti asuhan, Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKU) dan sejenisnya. Kesemuanya itu adalah dalam rangka pembelaan terhadap masyarakat yang dizalimi oleh penguasa, bahkan Ahmad Dahlan sendiri tidak gentar menghadapi ancaman pihak kolonial Belanda.
Bukan itu saja, nyawa sekalipun siap dipertaruhkannya demi membela orang-orang yang dizalimi tersebut. Oleh sebab itu, tidak jarang Muhammadiyah, di bawah pimpinannya berhadapan dengan kolonial.
Islam dalam pandangan Ahmad Dahlan tidak mentolerir dijadikan sebagai komoditas politik apapun alasannya. Dalam Surat al-Maun itu secara tegas dijelaskan bahwa kesalehan pribadi tak berarti apa-apa selama tidak diwujudkan dalam hubungan sosialnya. Malah, dikecam sebagai orang yang mendustakan agama. Di pertengahan ayat itu dikatakan bahwa siapa yang melakukannya maka kecelakaan (kehancuran) besarlah yang akan terjadi.
Inilah persoalan di bangsa ini, sejak Republik ini berdiri tak pernah putus dirundung malang. Para pimpinannya selalu mengalami kondisi yang dramatis dan rakyatnya mengalami kelaparan. Mungkinkah karena mereka sudah terlalu sering menzalimi dan mengekploitasi kemiskinan mereka. Orang-orang yang tidak menguntungkan secara ekonomi dapat mereka bayar untuk apa saja, termasuk membeli hak suaranya. Apalagi untuk memperbaiki kehidupan mereka ke arah yang lebih baik tentu jauh panggang dari api.
Justru, yang terjadi adalah mereka digusur secara besar-besaran oleh pihak penguasa dengan alasan pembangunan, penertiban kota, tata ruang, keindahan dan lain sebagainya. Penguasa dalam hal ini tidak pernah memberikan solusi yang betul-betul bisa melepaskan diri dari sekapan kemiskinan. Akhirnya, mereka tetap dalam kemiskinan, malah semakin menderita. Sementara sikaya semakin kaya di atas penderitaan kaum miskin.
Ruang gerak orang-orang miskin semakin sempit. Malah, nyaris tidak ada peluang sedikitpun untuk berusaha bagi mereka. Karena didesak secara terus menerus oleh berbagai kebijakan yang tidak memihak kepada kaum papa ini. Bank hanya mau meminjamkan dana segarnya hanya kepada mereka yang memiliki jaminan. Jelas cara ini takkan pernah bisa dijangkau oleh kaum miskin ini.
Begitu pun untuk bekerja dalam suatu institusi tertentu, harus mengeluarkan biaya dalam jumlah yang besar untuk membayar para cukong yang bermain di dalamnya. Selain itu, juga mesti ada jaringan dari dalam. Tentu, si miskin takkan pernah jaringan yang dimaksud. Tak heran seorang pengangguran membayar orang yang sudah kaya, dan bawahan membayar upeti terhadap atasannya agar jabatan yang sedang ditangan tidak dialihkan pada orang lain.
Oleh sebab itu, yang terjadi di negeri ini bukanlah memerangi kemiskinan, tetapi memerangi orang-orang miskin agar keluar dari perkotaan dan lari ke pinggir-pinggir kota serta pemukiman kumuh lainnya.
Inilah kondisi bangsa yang katanya orang-orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Bukankah yang dijamin itu adalah para elit dan kelompok yang berpunya? Suatu yang sangat ironis memang ketika ini terjadi di negara yang kaya seperti negara Indonesia. Nurani kelihatannya sudah terpinggirkan dan ditundukan oleh keserakahan.
Penulis: Bakhtiar – Ketua, PW. Muhammadiyah Sumatera Barat
Editor: Nova Indra