Berdasarkan berbagai hikayat dan legenda maupun peristiwa yang betul-betul terjadi didapatkan informasi, ternyata banyak orang yang diberikan kelebihan rizki, tetapi bersikap sombong dan angkuh terhadap orang-orang tersebut.
Tersebutlah misalnya, cerita si Malin Kundang di Ranah Minang. Ia dengan sombongnya bersikap kepada orang tuanya yang miskin dan tinggal di perkampungan. Tidak tahan terhadap prilaku anaknya itu, ia mendoakan Malin Kundang agar menjadi batu. Akhirnya, doa ibunya itu dikabulkan Yang Maha Kuasa.
Mungkin, tidak satupun di antara manusia yang ingin hidup miskin dan serba berkekurangan. Begitupun dalam al-Qur’an, diinformasikan bahwa Qarun (konglomerat), Fir’aun (penguasa) dan Hamman (politisi), sama-sama berkoalisi mengekploitasi kemiskinan rakyatnya sendiri untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Puncak dari kesombongan dan keangkuhan itu Tuhan menghancurkan mereka.
Islam juga sesungguhnya tidak menginginkan umatnya menjadi lemah. Namun, kemiskinan juga adalah realitas kehidupan yang mesti diterima dengan segala kearifan. Dalam banyak ayat dan sunnah ditemukan dorongan untuk berusaha mencari kehidupan yang lebih layak. Tetapi sebagian di antaranya belum kesampaian sehingga hidupnya masih dalam serba kekurangan.
Mungkin kondisi itu akibat dari kebijakan pemerintah, mungkin korban dari kezaliman penguasa, dan atau memang sudah takdir mereka. Sudah sunnatullah di dunia ini ada yang miskin dan ada yang kaya. Diharapkan dari kondisi demikian akan terbangun bangunan sosial yang kuat. Oleh sebab itu bagi seorang muslim, harta bukanlah segalanya tetapi hanya alat untuk mencapai tujuan yang jauh lebih berarti untuk jangka panjang.
Islam dalam hal ini memberikan alternatif agar harta itu tidak hanya bertumpuk pada seseorang atau kelompok tertentu saja yang mengakibatkan kerawanan sosial dengan doktrin zakat, shadaqah, wakaf dan hadiah. Dalam konteks ini di dalam harta kita terdapat hak orang lain yang mesti diberikan kepada kelompok-kelompok tertentu. Mereka itu adalah fakir, miskin, muallaf, ibn sabil, gharim, fisabilillah, amil dan kelompok terjajah. Kedelapan kelompok inilah yang masuk pada kelompok dhu’afa’.
Hampir semua yang disebutkan di atas merupakan kelompok yang sangat rentan dalam kerawanan sosial. Apalagi jika memang tidak ada perhatian kepada mereka sama sekali, tentu saja akan mudah dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Iyalah kalau yang memanfaatkannya itu terdiri dari dari orang-orang yang baik, kalau tidak, mungkin saja persoalannya akan menjadi lain.
Di sinilah pentingnya teologi al-Maun yang pernah digagas KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yaitu pembelaan terhadap kelompok-kelompok dhu’afa. Teologi ini diinspirasi oleh QS. Al-Maun ayat 1-7, yang mengaitkan antara keshalehan individual dengan keshalehan sosial.
Gagasan itu muncul saat bangsa Indonesia sedang terzalimi oleh penjajahan. Anak-anak yatim hari demi hari semakin banyak karena orang tuanya banyak yang mati terbunuh melawan penjajah. Begitupun wanita janda semakin tak terkendali akibat suaminya banyak yang diculik penjajah. Apalagi dalam konteks politik, ekonomi dan sosial penduduk pribumi betul-betul termarginalkan dan menjadi budak di negeri sendiri.