SUATU ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memulai taushiahnya dengan membangkitkan keingintahuan para sahabatnya seraya bertanya, “Maukah kalian aku beritahukan amalan yang lebih utama derajatnya dibanding puasa, shalat, dan sedekah?” Mereka menjawab, “Mau.” Beliau pun bersabda, “Memperbaiki hubungan dua orang, karena ketidakharmonisan hubungan dua orang tersebut merupakan perusak (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban).
Hadits tersebut mengajarkan kita jika dalam kondisi tertentu terdapat amal yang sangat penting dilakukan sehingga bobot derajatnya ditinggikan oleh Allah Ta’ala. Penambahan bobot itu sebagai bonus karena ia tak hanya sibuk beribadah, tapi juga peduli dengan lingkungan dan orang lain.
Amal Terpenting dari yang Penting
Warga dan kader muhammadiyah mesti memahami fiqih prioritas sebagai panduan menentukan skala prioritas dalam bermuhammadiyah dan bahkan beramal dalam makna yang lebih luas. Apa yang harus didahulukan harus diutamakan, apa yang kecil jangan dibesar-besarkan, dan apa yang sangat penting jangan diremehkan. Terkadang, seorang muslim mau mewakafkan tanah hanya untuk pembangunan mesjid, tapi enggan jika untuk sekolah dan rumah sakit. Ada anggapan bahwa belum merasa beribadah jika tanah yang diwakafkan bukan untuk mesjid. Ada juga yang menghabiskan energi bertikai dalam urusan furu’ (hukum-hukum syariat yang tidak bersifat mendasar), sementara luput menggarap persoalan besar yang sangat dibutuhkan umat. Mereka berdebat apakah makan di meja makan, menggunakan sendok dan garpu, apakah ini termasuk tasyabbuh (menyerupai) orang kafir atau tidak? Tentang shalat tarawih, mana yang benar apakah 12 rakaat atau 23 rakaat?
Allah Ta’ala telah menurunkan wahyuNya yang mengandung isyarat tentang perlunya skala prioritas dalam beramal (QS 9, at-Taubah:19-21). Dalam ayat itu, Allah Ta’ala mengemukakan perbandingan dua bentuk amal secara garis besar, yaitu memberi minum jamaah haji dan mengurus mesjid al-Haram di satu sisi, dan iman kepada Allah dan hari akhir, berhijrah, dan berjihad di sisi lain. Kedua kelompok amal itu tak sama di sisi-Nya. Ternyata amalan pada kelompok kedua lebih diunggulkanNya. Hal ini bukan meremehkan haji dibanding amal-amal lainnya, tapi terdapat kondisi yang mengharuskan amalan lain lebih diprioritaskan. Dihubungkan dengan cara kita beramal, maka akan lebih baik jika dana untuk haji dan umrah bagi mereka yang telah berulang kali menunaikannya digunakan untuk menyelamatkan saudara-saudaranya yang hidup di ambang kehancuran moral dan materil. Disalurkan dalam bentuk beasiswa kepada mereka yang butuh dana demi melanjutkan pendidikan.
Sejumlah ayat dan hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memberikan pedoman agar kita menempatkan amal sesuai skala prioritasnya. Beberapa hal yang patut kita cermati adalah: Pertama, memprioritaskan kualitas amal daripada kuantitas. Ukuran amal tidak terletak pada jumlah yang banyak dan besarnya bentuk, tetapi kualitas dan cara menunaikannya (QS.67,al-Mulk:2). Al-Qur’an bahkan menggugat kelompok mayoritas, tapi tak berkualitas (QS.6,al-An’am: 116).
Kedua, memprioritaskan amal yang langgeng dibanding amal yang dilakukan terputus-putus.Tentang hal ini, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berpesan; “Amal yang paling disukai Allah adalah amal yang paling kekal (langgeng) meskipun sedikit (Hadits riwayat Muttafaq’Alaih dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha).” Cara beramal yang salah kaprah, misalnya, ketika sebulan Ramadhan rutin membaca al-Qur’an, tapi tak lagi
dilanggengkan setelah bulan Ramadhan.
Berikutnya, memprioritaskan amal yang sangat bermanfaat bagi khalayak dibanding hanya bermanfaat untuk diri sendiri. Dari sini ath-Thabrani meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sehari dari penguasa yang adil lebih utama dibanding ibadah (orang biasa) selama enam puluh tahun.” Sebab, jika seorang penguasa yang adil mampu membuat keputusan yang adil meskipun sehari saja, maka ia dapat mengembalikan hak-hak mereka yang ditindas puluhan tahun.
Terakhir, memprioritaskan amal batin dibanding amal lahir. Amal lahir tak akan diterima Allah Ta’ala jika tak disertai dengan amal batin. Berapa pun banyaknya amal jika tak ikhlas, maka tak akan berarti dihadapan-Nya (QS.98,al-Bayyinah: 5). Ikhlas bukan amalan fisik, tapi amalan batin.
Kita mesti bersikap arif jika kehidupan di dunia ini sangat singkat, sementara perjalanan setelah di dunia ini masih panjang. Bekal yang kita bawa untuk menempuh perjalanan yang masih panjang itu juga harus banyak. Kearifan dalam mempersipkan bekal itu adalah dengan memperhatikan rambu-rambu prioritas dalam beramal. [Irwandi]