Oleh : Adpi Gunawan
TANGGAL 10 Dzulhijjah dalam penanggalan Hijriyah setiap tahunnya adalah Hari Raya Idul Adha bagi umat Muslim di seluruh dunia.
Meskipun dalam pelaksanaannya, ada yang melaksanakan shalat Hari Raya Idul Adha (Ied) kemarin dan ada juga yang melaksanakan pada hari ini, bukanlah persoalan yang harus dipermasalahkan.
Setelah shalat Ied, mulai tanggal 10 hingga 12 Dzulhijjah dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban berupa sapi, kambing ataupun kerbau dan yang paling dominan yaitu sapi.
Sewaktu saya masih kecil, belum ada kupon daging kurban. Namun sekarang dimana-mana kita menyaksikan pembagian kupon oleh panitia telah dilakukan pada tanggal 7 hingga 9 Dzulhijjah.
Pada kesempatan ini, yang akan kita bahas bukanlah tentang kupon tersebut. Tetapi kita akan mengupas perihal daging kurban dalam perspektif sosial dan pangan.
“Allah tidak akan menerima daging-daging dan darah-darah hewan kurban mereka, akan tetapi yang Allah terima adalah ketaqwaan dari kalian” demikian firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Hajj ayat 37.
Semakin jelaslah, bahwa kurban disamping menyangkut hubungan vertikal dengan Allah tetapi adalah juga ibadah yang berkaitan dengan hubungan horizontal sesama manusia (hablum minannas).
Persepektif Sosial
Daging hewan kurban yang disembelih diberikan kepada orang lain, bahkan penerima daging tak hanya kalangan umat Muslim. Di beberapa tempat yang saya temui terutama lingkungan masyarakat yang heterogen, semua kalangan di lingkungan tersebut diberi kupon, apapun latar belakangnya.
Secara empiris, di kalangan ekonomi menengah kebawah, biasanya masyarakat kita mengkonsumsi daging sapi yaitu pada saat memasuki bulan puasa, saat hari raya Idul Fitri, saat diundang pesta pernikahan, makan sate dan bakso sekali-sekali atau kala menerima daging kurban.
Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), yang hidupnya pas-pasan apalagi serba kekurangan, harga daging sapi Rp. 150.000,- per kilo bukanlah perkara mudah, ditambah momen memasuki tahun ajaran baru dan memikirkan kebutuhan belanja sehari-hari.
Daging kurban sangat ditunggu-tunggu. Dengan berkurban, setidaknya kita telah berkonstribusi membantu satu item sumber perolehan daging sapi bagi masyarakat sekitar dalam siklus tahunan.
Tidak hanya masyarakat biasa, Hari Raya Kurban adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh pelaku usaha pertanian (toke ternak). Pasar Ternak bergeliat setiap memasuki bulan Dzulhijjah. Grafik transaksi biasanya menanjak, drastis malahan.
Para petani pun demikian, momen Idul Adha adalah “Harinya Peternak”. Dalam kalender tahunan petani yang berbudidaya ternak, baik sapi maupun kambing, Hari Raya Haji adalah masanya penjualan ternak. Jangan coba-coba membeli dimasa tersebut.
Meskipun di beberapa daerah, transaksi di Pasar Ternak masih tertutup alias ditutup dengan kain sarung saat transaksi dan tidak menggunakan timbangan, sementara Pemilu sudah menggunakan proporsional terbuka.
Sedapatnya tentu kesejahteraan pelaku usaha beriringan dengan kesejahteraan pelaku utama. Harga ternak yang dijual petani sedapat mungkin bukan lagi berdasar kapatutan (dipatut-patut) melainkan terstandarisasi menggunakan timbangan sehingga harga jual adalah per kilo hewan hidup.
Perspektif Pangan
Daging sapi adalah sumber protein, lemak, vitamin dan mineral. Kekurangan mengkonsumsi daging sapi berarti kekurangan protein, lemak, vitamin dan mineral, meskipun bisa juga didapat dari sumber lain seperti pangan nabati.
Berdasarkan data Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) dikutip dari katadata.co.id pada tahun 2021, konsumsi daging sapi di Indonesia adalah 2,2 kilogram per kapita per tahun.
Sedangkan angka rata-rata dunia, sebanyak 6,4 kilogram daging sapi dikonsumsi dalam satu tahun oleh satu orang penduduk. Data tersebut menunjukan, bahwa masyarakat kita ketinggalan tiga kali lipat dari negara lain dalam hal mengkonsumsi daging sapi.
Andaikata tak ada orang berkurban, barangkali angka itu akan lebih rendah lagi. Kian berkurang konsumsi daging sapi ditengah kehidupan masyarakat.
Dengan mengkonsumsi daging sapi, berupa aneka olahan yang lezat seperti sup, soto, gulai maupun rendang telah menciptakan efek tak hanya kenyang dan enak namun menimbulkan rasa bahagia.
Keikhlasan orang yang berkurban dengan dilandasi ketaqwaan, ditambah persyaratan syariat terhadap hewan yang boleh dikurbankan, disitulah pemicu efek bahagianya.
Sebagaimana ulasan Syahbana Daulay di suaramuhammadiyah.id Prosesi kurban mempunyai aturan (precept), mulai dari memilih hewan yang sehat, persiapan pemotongan, prosesi pemotongan, sampai distribusi daging sarat dengan aturan fiqh. Tidak asal potong dan bagi sesuka hati, atau sesuai selera panitia, tapi terkelola (managed) dan tersistem (regulated) rapi dalam bingkai syariat Islam.
Pangan halal lagi baik dikonsumsi oleh masyarakat yang membutuhkan, tentunya akan berdampak terhadap kesehatan orang yang menkonsumsi walaupun hanya untuk dimakan satu hingga dua hari.
(Penulis merupakan pemerhati sosial, aktif di Muhammadiyah dan berdomisili di Sijunjung)