MenaraMu – Pesta demokrasi Pilpres dan Pileg baru saja selesai, tetapi belum ada hasil yang final. Lembaga pemantau pemilu Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia menyebut, dugaan kecurangan dan pelanggaran yang terjadi pada Pemilu 2024 “lebih parah” ketimbang pemilu sebelumnya.
Menyusul Pilpres dan Pileg, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 pun akan dimulai. Praktik mahar politik, suap dan serangan fajar atau money politics, diduga masih akan menjadi fenomena yang terjadi seperti pada pilkada sebelumnya. Sebelum berkontestasi untuk masuk bursa calon kepada daerah, mereka mencari rekomendasi partai politik dengan imbalan sejumlah mahar.
Ijtima Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-6 di Kalimantan Selatan 2018 lalu, membahas hukum meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung sebagai kepala daerah, kepala pemerintahan, anggota legislatif, hingga jabatan publik lainnya. Ulama menetapkan fatwa, mahar politik haram hukumnya.
Sementara pada hukum positif yang termaktub dalam UU No 1/2015 mengatur bahwa, “Partai politik atau gabungan partai politik, dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur, bupati, dan walikota”. Demikian pula sebaliknya, “Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada partai politik atau gabungan partai politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan wali kota.”
Hukum dasar korupsi di dalam Islam adalah haram. Alqur’an dengan tegas melarang untuk memakan harta dengan jalan yang batil (tidak sesuai prosedur atau aturan yang syah).
“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” (al-Baqarah: 188).
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, korupsi atau suap sebagai risywah. Pemberian yang diberikan seseorang kepada orang lain (pejabat/penguasa), dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah), atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberinya disebut rasyi, sedangkan penerimanya disebut murtasy.