Menu

Mode Gelap
Sukseskan Muktamar XX, Kader IMM Sumbar Siap Gebrak Palembang Audiensi HW ke UM Sumbar: Sinergi Musywil dan Milad ke-105 Aisyiyah Rekomendasikan Perbaikan Pemilu, Simak di Sini Tim MenaraMu Laporkan Pengembangan Media di Pleno PWM Pilkada Halal dan Bermartabat

Artikel · 31 Jul 2023 05:55 WIB ·

Mengembangkan Lembaga Pendidikan yang Moderat dan Toleran


 Ki Jal Atri Tanjung Perbesar

Ki Jal Atri Tanjung

Oleh Ki Jal Atri Tanjung, S.Pd.,SH.,MH
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat

PENDAHUUAN
Salah satu nilai ajaran Islam adalah moderatisme yang mengajarkan posisi tengah, tidak fanatik/berlebihan dalam berpikir dan bertindak.

Ajaran ini menekankan pentingnya keseimbangan, tidak berdiri pada kutub ekstrim, baik dalam pemahaman maupun pengamalan Islam. Moderatisme dalam Islam juga mengajarkan inklusifisme, persaudaraan, toleransi, perdamaian dan Islam sebagai rahmatan lil’alamin.

Dengan moderatisme, ummat Islam dipandang sebagai ummatanwasathan, sebagai ummat yang cinta perdamaian dan anti kekerasan. Ummat Islam tampil sebagai ummat yang mengutamakan misi perdamaian, anti kekerasan dan toleransi.

Misi ini ditujukkan ketika Islam disebarkan keseluruh pelosok dunia.Perang dalam Islam hanya diperbolehka ketika ummat Islam dalam keadaan terdesak dan mempertahakan diri.

Para Pendakwah menyebarkan Islam di Indonesia, khususnya ke Pulau Jawa (wali songo) menyebarkan Islam dengan menggunakan media budaya dan pendidikan. Bahkan mereka melakukan akulturasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dengan budaya lokal.

Pada proses pembelajaran, penanaman moderatisme dilakukan dalam bidang studi yang tergabung pada ilmu-ilmu keislamaan, yaitu: al-Quran, Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam, Aqidah dan akhlak.

Pada pembelajaran di atas, para ustad menekankan pada karakteristik ajaran Islam yang mengajarkan nilai-nilai persatuan, tolong-menolong dalam kebaikan, kerja sama dan toleransi.

Penanaman nilai-nilai tersebut dilakukan agar terjalin hubungan yang harmonis antar santri dan ketika mereka lulus dari pesantren, mereka menjadi perekat ummat Islam di tengah keragaman ummat.
Demikian juga, pembelajaran nilai-nilai moderat dilakukan dalam proses pembelajaran dengan menekankan pentingnya toleransi kepada keberagaman agama, madzhab dan paham. Penanaman sikap tersebut ditampilkan dalam beberapa dengan menanamkan sikap dan prilaku toleransi. Penanaman sikap tersebut, misalnya dilakukan melului pembelajaran pada bidang edukasi hadits.

MODERASI PENDIDIKAN ISLAM

Adapun term moderat memiliki dua makna, yaitu:
(1) Selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem; dan
(2) Berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.

Oleh karena itu, paham moderat berarti paham yang tidak ekstrem, dalam arti selalu cenderung pada jalan tengah.

Muchlis M.Hanafi memaknai moderat (al-wasath) sebagai metode berpikir, berinteraksi dan berperilaku secara tawazun(seimbang) dalam menyikapi dua keadaan, sehingga ditemukan sikap yang sesuai dengan prinsip- prinsip Islam dan tradisi masyarakat, yaitu seimbang dalam akidah, ibadahdan akhlak.

Masdar Hilmy menyebutkan term moderat merupakan konsep yang sulit didefinisikan. Penggunaannya merujuk pada al-tawassuth (moderasi), al-qisth (keadilan), al-tawâzun (keseimbangan), al-i’tidâl (kerukunan) dansemacamnya. Namun demikian, dalam konteks Indonesia terdapat beberapa karakteristik moderatisme Islam.

Sementara itu, Muhammad Ali memaknai Islam moderat sebagai those who do not share the hardlinevisions and actions. Dengan pemaknaan ini, ia menyatakanbahwa Islam moderat Indonesia merujuk pada komunitas Islam yang menekankan pada perilaku normal (tawassuth) dalam mengimplementasikan ajaran agama yang merekategakkan; mereka toleran terhadap perbedaan pendapat,menghindari kekerasan, dan memprioritaskan pemikiran dandialog sebagai strateginya.
Gagasan-gagasan semisal Islam pribumi, Islam rasional, Islam progresif, Islam transformatif, Islam liberal, Islam inklusif, Islam toleran dan Islam plural dapat dikategorikan sebagai Islam moderat Indonesia.

Baca Juga:  Krisis Iklim: Perspektif Mindset dan Peran Agama dalam Solusinya

Dari makna di atas, dapat kita pahami bahwa moderat berada pada posisi tengah dan tidak condong kepada golongan tertentu. Moderat dapat pula diartikan bersikap lunak atau tidak terjerumus ke dalam ekstrimisme yang berlebihan.

Wasathiyah (pemahaman moderat) adalah salah satu karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Pemahaman moderat menyeru kepada dakwah Islam yang toleran, menentang segala bentuk pemikiran yang liberal dan radikal.

Liberal dalam arti memahami Islamdengan standar hawa nafsu dan murni logika yang cenderung mencari pembenaran yang tidak ilmiah.Islam multikultur adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama.

Urgensi Pendidikan Toleransi dalam Dunia Pendidikan di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman suku, budaya, bahasa, adat istiadat, agama, dan aliran kepercayaan.

Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman akan pentingnya nilai toleransi dalam menghadapi keberagaman tersebut.endidikan merupakan sarana yang mampu mengubah pola pikir anak bangsa dan turut menciptakan agen-agen pencipta perubahan (agent of change).

Pendidikan yang ideal menjunjung tinggi sikap toleransi akan keberagaman, kesetaraan, kreativitas, dan daya inovatif. Pendidikan toleransi dinilai sebagai cara yang efektif dalam menumbuhkembangkan kesadaran untuk menghargai keberagaman.

Toleransi berasal dari bahasa Latin “tolere”, yang berarti menanggung (to bear), memikul (endure), menopang (sustain), dan bersabar (patient). United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menjelaskan bahwa toleransi meliputi sikap saling menghormati secara tulus, penerimaan, dan akomodasi, menghormati perbedaan pribadi, dan budaya, resolusi konflik yang damai, penerimaan, dan penghargaan terhadap keanekaragaman budaya, menghormati kelompok minoritas dan orang asing, memiliki selera humor, sopan, ramah, dan keterbukaan pikiran.

Cakupan toleransi yang dikemukakan oleh UNESCO dapat dikatakan sangat lengkap untuk menggambarkan arti toleransi secara sederhana. Cakupan sikap tersebut menjadi cerminan dari sikap toleransi di tengah masyarakat yang beraneka ragam budaya, bahasa, adat istiadat, agama, dan kepercayaan.

Toleransi merupakan hal yang harus dan masih diperjuangkan di Indonesia. Bagaimana tidak, banyak kasus intoleransi yang masih kita jumpai saat ini di mana lingkungan pendidikan menjadi “wadah” berkembangnya kasus tersebut.

Kasus baru-baru ini terjadi di salah satu sekolah di Padang di mana terjadi pemaksaan pemakaian atribut suatu agama.

Hal ini sangat ironis dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”

Baca Juga:  Berkemajuan dengan Semangat Percepatan

Pendidikan toleransi sejatinya dipraktekkan dalam proses pembelajaran dan menjadi budaya dari dunia pendidikan. Sekolah dan lembaga pendidikan lainnya seharusnya menjadi tempat yang aman dalam menghadirkan serta mendukung nilai dan sikap toleransi. Setiap insan pendidikan, baik siswa dan tenaga pengajar harus memiliki prinsip menghargai perbedaan, mengapresiasi keragaman, dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan.

Para tenaga pengajar dapat memasukkan unsur pendidikan toleransi pada mata pelajaran apa pun, tidak hanya pelajaran pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan agama saja.

Selain itu, pendidikan toleransi tidak hanya dikemas sebagai teori saja tetapi juga dipraktikkan sehingga para pelajar dapat melihat dan merasakan secara langsung bentuk dari toleransi itu sendiri.

Tidak hanya di lingkungan sekolah, keluarga dapat menjadi wadah pemahaman akan sikap dan nilai toleransi. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi setiap individu di mana memiliki peran utama dalam proses pembentukan karakter seorang anak.

Penanaman sikap dan nilai toleransi mampu membentuk pengetahuan anak akan keberagaman yang ada. Dengan mengajarkan hal tersebut, anak dapat mengetahui serta mengamalkan sikap dan nilai toleransi sedari dini.

Pendidikan toleransi merupakan salah satu usaha dalam mewujudkan poin keempat Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu, “Pendidikan Bermutu”. Adanya poin tersebut ditujukan untuk memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara serta mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua.

Dengan harapan di tahun 2030, pelajar mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan melalui pendidikan untuk HAM, kesetaraan gender, mendukung budaya perdamaian dan anti kekerasan, kependudukan global dan apresiasi terhadap keberagaman budaya dan kontribusi budaya kepada pembangunan berkelanjutan.

MODERAT DAN TOLERAN

Membangun nilai-nilai kebangsaan dan sikap toleransi melalui pendidikan harus terus diupayakan di era sekarang ini. Apalagi belakangan ini, tindakan intoleransi dan bahkan menjurus kepada radikalisme cukup marak terjadi di negeri ini.

Benih intoleransi muncul karena berbagai faktor, salah satunya tingkat pemahaman nilai kebangsaan yang sempit maupun penanaman nilai agama yang eksklusif di sekolah.

Dari sini bisa dilihat bahwa proses pendidikan di negeri ini belum optimal membentuk warga negara yang dapat mewujudkan suatu keadaban bersama dalamkehidupan berbangsa dan bernegara, serta belum mampu mengkreasi manusia Indonesia seutuhnya.

“Lembaga pendidikan merupakan salah satu arena yang penting untuk menanamkan atau menginternalisasikan semangat kebangsaan dan perilaku toleran. Peran lembaga ini perlu ditingkatkan, terutama pendidikan multikultural,” ungkap Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bambang Subiyanto.

Menurutnya, pendidikan merupakan lembaga dan media strategis untuk persemaian dan revitalisasi kebangsaan. Pendidikan nilai kebangsaan bagi bangsa Indonesia merupakan suatu keniscayaan, karena keanekaragaman jika tidak dilandasi semangat kebangsaan yang tangguh dan landasan pandangan hidup yang kukuh, maka ikatan kebangsaan dapat mengendur, bahkan berpotensi terlepas sama sekali.

Baca Juga:  Buya ZIS Tutup Baitul Arqam PDM-PDA Pabasko

Makmuri Sukarno, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI mengungkapkan, penanaman rasa kebangsaan dan toleransi tidak cukup hanya pada lembaga pendidikan semata, melainkan perlu merambah pula pendidikan informal.

“Pemberdayaan masyarakat dan membangun rasa kebangsaan dapat dicapai melalui perencanaan dan pembangunan keluarga yang berkualitas termasuk pendidikan informal dalam keluarga. Sebab saat ini, institusi keluarga pun menghadapi berbagai tantangan dan pergeseran peran akibat globalisasi,” jelasnya

Sementara itu Akademisi UIN Jakarta, Azyumari Azra menyoroti bahwa fenomena rasa kebangsaan dan toleransi yang saat ini memudar dan perlu dipupuk kembali seperti sebuah fenomena gunung es. Itu hanyalah titik kulminasi saja. Sebab, pada dasarnya masih banyak persoalan yang perlu diselesaikan agar rasa kebangsaan bisa ditingkatkan lagi.

Persoalan yang perlu diatasi ini adalah pendidikan mengalami perubahan yang signifikan dari zaman ke zaman. Itu perlu sikap adaptif dari pemerintah agar tidak salah dalam mengambil kebijakan.

Ambil contoh, era saat ini adalah era internet dan gawai atau ponsel pintar. Proses pendidikan dari era sekarang dengan era masa lalu tentu terjadi kesenjangan. “Nah, ini yang kontradiktif dan perlu ditemukan solusinya dengan pendidikan harus menjembataninya,” tekannya.

Era internet seperti pisau bermata dua. Internet memang banyak manfaatnya, tapi harus diarahkan pada hal-hal positif. “Kalau seperti itu, maka kita bisa mencegah intoleran dan radikalisme yang ada di internet seperti media sosial dan sebagainya. Sekali lagi tergantung kita bagaimana mengarahkan penggunaan internet ke ranah mana dan peran pendidikan penting di sini,” papar Azra.

Di sisi lain Hariyono, Deputi II Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) melihat peran pendidikan saat ini penting dengan mendorong lagi nilai- nilai Pancasila tidak hanya sekedar dihafalkan semata, melainkan lebih kepada implementasi.

Kemudian, pendidikan juga perlu menanamkan sikap cinta kepada sesama manusia dan mengurangi cinta kepada gawai atau ponsel pintar yang sekarang ini marak terjadi. Dengan begini, maka nilai-nilai toleransi dan kebangsaan bisa ditanamkan dan membuat nilai-nilai negatif bisa dicegah, tutupnya.

KESIMPULAN

a. Mengembangkan lembaga pendidikan yang moderat dan toleran merupakan suatu keharusan atau keniscayaan.
b. Urgensi pendidikan kebangsaan adalah untuk merajut simpul-simpul harmoni dalam keberagaman.
c. Harmonisasi tripusat pendidikan merupakan sebagai wujud pendidikan yang moderat dan toleran.

d. Dan upaya untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang moderat dan toleran harus dilakukan secara continue dan maximal.
e. Political will dari pemerintah dan partisipasi masyarakat sebagai kata kunci keberhasilan dalam mengembangkan lembaga pendidikan yang moderat dan toleran.***

Artikel ini telah dibaca 74 kali

badge-check

Publisher

Baca Lainnya

Buya ZIS Tutup Baitul Arqam PDM-PDA Pabasko

10 Desember 2023 - 18:06 WIB

Krisis Iklim: Perspektif Mindset dan Peran Agama dalam Solusinya

17 November 2023 - 16:13 WIB

Muhammadiyah, Transformasi Politik dan Keterlibatan Menjelang Pemilihan Umum

16 November 2023 - 17:02 WIB

Muhammadiyah Mendidik Kader dengan Serius dan Berjenjang

11 November 2023 - 11:43 WIB

Pura Pura Muhammadiyah

8 Oktober 2023 - 15:18 WIB

Muhammadiyah Dari Masa ke Masa Di Teluk Bayur dan Kampung Air Manis

25 September 2023 - 10:08 WIB

Trending di Artikel