Pada pengkajian Ramadahan 1444 H/2023 M di Gedung Dakwah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Barat, saya mencatat bahwa persoalan penguatan ideologi termasuk dalam daftar identifikasi masalah dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah. Di PWM Sumatera Barat, respon awal atas persoalan ditangani melalui program Seribu Baitul Arqam sebagai wadah untuk meningkatkan pemahaman keislaman, menciptakan kesamaan dan kesatuan sikap, integritas, wawasan dan cara berpikir di kalangan anggota persyarikatan dalam merealisasikan misi Muhammadiyah.
Penguatan ideologi adalah persoalan krusial sebab ia adalah ruh penggerak persyarikatan Muhammadiyah. Kader-kader persyarikatan yang militan mustahil hadir tanpa dibarengi dengan kesungguhan dalam membina dan meneguhkan ideologi persyarikatan Muhammadiyah. Pengalaman saya selama 25 tahun yang mengalami langsung dinamika harakah Islam dan mendalami manhaj Muhammadiyah menyimpulkan bahwa ideologi pergerakan Islam itu harus benar-benar “berwujud” menjadi manusia. Selama ideologi sebatas diwacanakan dan tertulis di atas kertas, maka selama itu pula daya geraknya tak akan ada. Bahkan, ini berlaku untuk apa saja bentuk ideologi.
Dari sejarah yang saya pahami bahwa sebutan ideologi sengaja dihindari oleh para pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah pada masa Orde Baru. Alasannya adalah untuk keamanan dalam bergerak sebab kata ideologi telah dikondisikan seakan miliki penguasa pada masa itu. Karenanya, seiring dengan keprihatinan terhadap masuknya paham westernisasi dan sekulerisasi ke Indonesia, pada muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta dilahirkan sebuah formulasi ideologi Muhammadiyah yang diberi nama Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (selanjutnya disingkat MKCHM). Kenapa namanya bukan ideologi Muhammadiyah? Alasannya seperti saya tulis di atas, yaitu menghindari konflik dengan penguasa Orde Baru. Adapun tokoh-tokoh yang terlibat dalam penyusunan konsep MKCHM diantaranya adalah Prof. Dr. Rasyidi, Ahmad Azhar, Basyir, Djindar Tamimy, dan beberapa tokoh lainnya.
Rumusan MKCHM terdiri dari lima (5) angka. Kemudian dari lima (5) angka ini dapat dibagi lagi menjadi tiga (3) kelompok, yaitu:
Kelompok pertama mengandung pokok-pokok persoalan yang bersifat ideologis, yaitu angka 1 dan 2 yang berbunyi : 1) Muhammadiyah adalah gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah. Maksud dan tujuannya adalah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. 2) Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya, sejak nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada nabi penutup Muhammad saw sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahtraan hidup materil dan sprituil, duniawi dan ukhrawi. Muhammadiyah tidak menyebut Yahudi sebagai agama wahyu resmi, begitu juga dengan Kristen maupun Katolik. Agama wahyu hanyalah Islam sebagaimana wahyu Allah Ta’ala: sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…” (QS.3: 19).
Kelompok kedua berkenaan dengan paham agama menurut Muhammadiyah, yaitu angka 3 dan 4, yang berbunyi : 3) Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Selain al-Quran dan Sunnah Rasul, seperti Ijma’ dan Qiyas bukan sumber, melainkan diposisikan sebagi Ijtihad. Dalam manhaj (jalan) yang ditempuh Muhammadiyah adalah ijtihad mutlak diperlukan. 4) Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi yang meliputi bidang aqidah, akhlak dan ibadah dan Muamalah Duniawiyah.
Menurut Muhammadiyah, aqidah Islam bersumber kepada al-Quran dan Sunnah Rasul. Posisi akal digunakan untuk mengukuhkan kebenaran Nash (al-Quran dan Sunnah). Akal tidak digunakan untuk mentakwil ajaran aqidah yang memang di luar kapasitas akal. ‘Aqidah disesuaikan dengan ajaran Islam. Sikap toleransi terhadap penganut agama lain tetap ditumbuhkan dan tidak memaksakan ajaran Islam, Namun, upaya memberikan gambaran bahwa Agama yang akan menjamin kesejahteraan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat adalah Agama Islam terus dilakukan.
Dalam urusan akhlak, Muhammadiyah juga berpendirian bersumber kepada al-Quran dan Sunnah Rasul. Meskipun Sunnah juga mengakui adanya sumber “al-qalb” atau hati nurani, moralitas kondisional dan situasional juga tidak dibenarkan. Sedangkan di bidang Ibadah dalam MKCHM ini, yang dibicarakan adalah ibadah mahdhah yang diturunkan oleh Rasulullah saw tanpa tambahan dan perubahan dari manusia. Sementara Muamalah Duniawiyah yang titik beratnya kepada pengelolaan dunia dan pembinaan masyarakat dengan segala kompleksitasnya didasarkan pada ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan tersebut sebagai ibadah kepada Allah Ta’ala.
Kelompok ketiga, mengandung persoalan mengenai Fungsi dan Misi Muhammadiyah dalam masyarakat Negara RI, yaitu angka 5 yang berbunyi : 5) Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara RI berdasar Pancasila dan UUD 1945, untuk berusaha bersama-bersama menjadikan suatu bangsa negara yangadil dan makmur dan diridhai Allah SWT : Baldatun Thayyibatun wa Robbun Ghafur.
Apabila Muhammadiyah ingin tetap memiliki eksistensi dan peranan, maka keyakinan dan cita-cita hidupnya harus dibina, dikokohkan, dipertahankan, dan diwujudkan dalam amal nyata. Karenanya, MKCHM itu perlu dibaca kembali dengan pembacaan yang lebih mendalam agar ideologi Muhammadiyah itu “berwujud” manusia Muhammadiyah yang tak hanya menjadi orang baik tapi juga melakukan perbaikan. []