RIAU – Persyarikatan Muhammadiyah memiliki manhaj atau metode tersendiri dalam memahami Qur’an dan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam. Karenanya, kader dan warga persyarikatan Muhammadiyah saat ini mesti memiliki pendirian kokoh dan menunjukkan identitas sejalan manhaj yang dipilih Muhammadiyah. Dalam memahami ajaran Islam, Muhammadiyah sesungguhnya telah memiliki bagan keilmuan yang jelas dan teruji secara ilmiah.
Rektor Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI), Buya Dr. Saidul Amin, mengatakan Muhammadiyah telah memiliki metode atau manhaj yang teruji dalam memahami ajaran Islam dengan tahap-tahap yang ketat. Tahap pertama, ungkapnya, adalah al-Jam’u, yaitu mengumpulkan semua dalil terkait.
Dikatakannya, dalam pemahaman Muhammadiyah bahwa al-Qur’an itu adalah sesuatu yang utuh atau jumlatul wahidah, dan saling melengkapi sehingga untuk memahami al-Qur’an harus dipahami seutuhnya dan tak boleh secara parsial atau setengah-setengah.
Dijelaskannya, setelah ayat-ayat al-Qur’an dikumpulkan, lalu dilanjutkan dengan mengumpulkan hadits-hadits, terus dikumpulkan pula ucapan para sahabat,tabi’in, dan para ulama dari era klasik hingga kontemporer. “Itu memang pekerjaan yang sangat berat, tapi dalam metode atau manhaj Muhammadiyah hal itu suatu prosedur keilmuan yang wajib ditempuh,” jelas Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Riau itu saat menyampaikan ceramah pencerahan pada pembukaan Musyda ke-17 Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten 50 Kota, Sumbar, Sabtu (27/2/2023).
Tahap kedua, lanjutnya adalah al-bayaan yaitu menjelaskan dalil-dalil itu secara rinci. “Dalam menjelaskan maksud dari dalil-dalil itu jelas ada perbedaan sehingga setuju atau tidak setuju kita mesti menjelaskan adanya beragam pendapat itu,” kata Saidul Amin yang juga Direktur Eksekutif Komite Daerah Ekonomi Syariah Riau. Setelah selesai level kedua ini, lanjutnya, baru masuk ke level ketiga, yaitu at-taufiq, yaitu memilih mana diantara dalil-dalil itu yang bisa dirangkum dan dicantumkan sehingga ia merupakan suatu bagan bangunan yang lengkap dan terpadu. “Pada level ini, penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum dilakukan dengan komprehensif, utuh, bulat,d an tidak terpisah-pisah,” jelasnya. Jika tidak tuntas pada level ketiga ini, jelasnya, baru masuk ke level keempat, yaitu tarjih. “Tarjih ini merupakan usahama mujtahid untuk memilih mana dalil yang lebih kuat dan mendekati maksud al-Qur’an dan Sunnah,” ungkap alumni Thawalib Padangpanjang dan International Islamic University of Malaysia (IIUM) ini.
Persyarikatan Muhammadiyah, kata Dr.Saidul Amin, lebih memprioritaskan persoalan yang masuk dalam ranah ushul atau pokok dan lebih urgen dibanding persoalan yang dikategorikan pada urusan cabang atau furu’iddin. “Banyak persoalan yang lebih urgen dan dibicarakan al-Qur’an yang perlu kita pahami dan realisasikan, seperti masalah akhlaq, urusan keluarga, dan muamalah.
Dikatakannya, Muhammadiyah tak larut dengan persoalan-persoalan yang sesungguhnya bukanlah persoalan pokok.”Kita tidak boleh membesarkan masalah yang Allah Ta’ala tidak memprioritaskan dan sebaliknya,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua PDM Kota Payakumbuh, Ustadz H. Irwandi Nashir dan PDM Kabupaten 50 Kota, Ustadz Nurul Hadi, sepakat menyebut upaya mempertegas identitas manhaj Muhmmadiyah saat ini menjadi prioritas yang digariskan oleh PWM Sumatera Barat ditengah keragaman cara memahami ajaran Islam yang idealnya menjadi khazanah keilmuan yang mencerahkan, bukan celah perpecahan. (Irwandi/Hafiz)