KEMISKINAN merupakan realitas kehidupan yang berkelindan dengan kebijakan kekuasaan, budaya, dan bangunan sosial yang rapuh. Dalam bentuk kebijakan kekuasaan biasanya terkait dengan ketidakberpihakan pemerintah.
Para elit politik menjadikannya sebagai komoditas politik untuk terus ‘digoreng’ dengan tanpa ada upaya serius mengeluarkan dari lilitan kemiskinan. Keadaannya seolah terus dipelihara dan dipertahankan dalam upaya memberikan keuntungan secara politik, baik individu maupun kelompok.
Masyarakat yang hidupnya dalam keadaan miskin, tetap saja dalam keadaan demikian. Secara nyata, sama sekali tidak memiliki akses pada pusat-pusat kekuasaan sehingga mengalami kemiskinan secara terus menerus. Sementara orang-orang yang berada di sekitar kekuasaan, menikmati dan berladang di atas kaum miskin ini. Sudahlah tidak punya akses pada pusat-pusat kekuasaan, ditambah lagi dengan sikap dan tindakan elit pemerintah yang semakin membuatnya dalam himpitan hidup.
Secara empirik keadaan ini banyak terjadi di berbagai daerah. Lahan tempat mereka menggantungkan hidup diambil alih secara paksa dengan mengatasnamakan kepentingan negara. Padahal, mereka sudah menggarap dan menguasainya berpuluhan tahun secara turun temurun.
Hal itu menyebabkan mereka kehilangan sumber pencarian karena tidak ada lagi lahan yang dapat digarap. Tempat tinggalnya digusur dan diporakporandakan. Kemudian pemerintah menyerahkannya kepada pemodal untuk diekploitasi tanpa batas. Psikis dan mental mereka juga dirusak dengan intimidasi melalui tangan-tangan tertentu. Masyarakat yang dalam keadaan seperti ini, termiskinkan secara struktural.
Kemiskinan, selain disebabkan kebijakan pemerintah juga adanya faktor budaya. Faktor ini muncul sebagai kebiasaan yang terjadi secara turun temurun, bahkan pada komunitas tertentu keberadaannya terus dipelihara. Ketika ada upaya untuk melakukan perubahan, muncul perlawanan karena dipandang akan merubah tradisi yang sudah diwarisi secara turun menurun.
Tak ketinggalan para elit tertentu yang mengambil keuntungan dari kebiasaan itu, turut berada di balik perlawanan tersebut. Akibatnya, sulit untuk merubahnya. Misalnya, kebiasaan menggantungkan hidup pada pihak-pihak tertentu dengan tidak membangun budaya kemandirian. Sikap hidup yang tidak mau bekerja keras. Sikap mental mudah menyerah pada keadaan dan lingkungan. Lebih suka hidup dimanjakan. Semua sikap demikian telah menggerogoti sikap mental untuk hidup dalam kemiskinan.
Kemiskinan, disebabkan pula bangunan sosial yang rapuh. Simpul-simpul masyarakat mengalami pelemahan dan nyaris tidak berfungsi dan berperan. Sikap hidup hedonisme sebagian masyarakat ikut melumpuhkan sendi-sendi bangunan sosial. Kepedulian sosial yang menjadi karakter masyarakat komunal secara sistemik mulai menghilang. Antara tetangga tidak lagi saling mengenal satu sama lain. Akibatnya, hidup sendiri-sendiri. Tali persaudaraan begitu sangat renggang.
Hal tersebut menyebabkan orang yang berekonomi baik tidak lagi mengayomi pihak yang miskin. Orang yang kuat tidak lagi melindungi yang lemah. Begitu pula orang miskin merasa tidak perlu menjaga lingkungan orang kaya. Dan kurangnya kepedulian terhadap lingkungan sudah dianggap biasa.